JEMBER, Exposeupdate.com – Kamis, (02/06/2022). Rencana Pemerintah Kabupaten Jember untuk menerapkan kerjasama pemanfaatan tambang batu kapur dengan sistem kemitraan membuat para pelaku industri pembakar batu kapur menjadi cemas.
Hal itu disebabkan karena dalam sistem kemitraan tersebut Pemkab Jember akan menerapkan kebijakan yang berdampak langsung pada naiknya harga batu kapur.
Sebagaimana diberitakan bahwa Pemkab Jember dalam kerjasama kemitraan itu meminta kontribusi kepada penambang sebesar Rp.39,5 ribu per ton, bagi pengusaha berskala besar, dan Rp.30 ribu per ton bagi pengusaha tambang dengan klasifikasi usaha mikro kecil dan menengah.
Tentu saja bila kebijakan itu diterapkan maka para pemilik tungku atau pembakar batu kapur terancam bubar. Tidak kurang dari 700 pemilik tungku akan kehilangan sumber mata pencaharian karena akan mampu membeli bahan baku.
“Walaupun bisa melakukan pembakaran batu tapi kami akan kesulitan dalam pemasarannya, karena harga jualnya harus dinaikan 100 persen, seiring dengan mahalnya harga bahan baku,” Keluh Muhammad Kholili salah satu pemilik tungku yang mengaku sudah puluhan tahun menekuni industri pembakaran batu kapur asal gunung sadeng Puger itu.
Sebelumnya kata Kholili, kisaran harga batu kapur mentah antara Rp.50 ribu sampai Rp.55 ribu per ton. Harga tersebut belum termasuk biaya transportasi biaya angkut dan ongkos pekerja. Namun jika nantinya dikenakan kontribusi terlalu besar, maka harga bahan baku akan melambung naik.
Dalam kondisi normal, pria warga Desa Kasihan Timur itu bisa melakukan 2 kali dalam sebulan. Namun saat ini usahanya mulai tidak menentu karena kesulitan dalam mendapatkan bahan baku. Kesulitan itu dialaminya sejak 5 tahun terahir.
Sumber Daya Alam berupa Gunung Sadeng yang berpotensi tambang batu kapur itu tidak bisa menopang kebutuhan para pembakar karena kebijakan Pemerintah kabupaten Jember yang mencabut Hak Pengelolaan Lahan (HPL) para pengusaha tambang baik badan usaha berbentuk CV, PT dan Koperasi.
Belakangan yang eksis dalam menambang tinggal 3 perusahaan saja. Sementara 1 PT hanya mensuplai kebutuhan perusahaan semen Singa Merah yang diproduksi oleh PT. Imasco Asiatic. Sedangkan kebutuhan bahan baku para pemilik tungku hanya disuplay 2 Pperseroan Terbatas (PT).
Untuk mendapatkan bahan baku itu para pemilik tungku harus antre mengingat 2 perusahaan itu juga terikat kontrak dengan perusahaan industri lain dari luar kota.
Padahal eksistensi usaha para pemilik tungku itu sangat diperlukan karena setidaknya dapat menyerap tenaga kerja.
Namun akibat penutupan aktifitas tambang itu, ribuan buruh harus menjadi pengangguran, dan sebagian mencari alternatif menjadi buruh sampai keluar Kota.
“Saya berharap Pemerintah memikirkan nasib para pekerja tambang, dan pekerja tungku dan tidak mengeluarkan kebijakan yang dapat merugikan pelaku usaha kecil dan para buruh,” Imbuh Muhammad Kholili penuh harap.
Berdasarkan investigasi media ini, Perusahaan yang semula dapat mensuplai bahan baku, saat ini mandeg karena Izin operasional (IUP) sudah kadaluwarsa sejak tahun 2018 lalu, menyusul kebijakan Pemkab yang tidak memperpanjang atau memperbarui perizinan.
Keengganan Pemkab Jember untuk memberikan perizinan tersebut sangat disesalkan oleh para pengusaha tambang. Bahkan keberadaannya dihadapkan pada persoalan pelik dimana dalam pengurusan izin itu harus membuang waktu selama 3 sampai 4 tahun. Dan sampai saat ini tidak kunjung kelar.
“Kami ini adalah pengusaha lokal yang berupaya membantu Pemerintah dalam mengentas kemiskinan dengan meningkatkan kesejahteraan penduduk Jember, khususnya di daerah sekitar tambang. Tapi sayangnya pemerintah tidak berpihak,” Ungkap salah satu pengusaha tambang kepada media ini.
Salah satu perusahaan yang sampai saat ini eksis dalam penambangan yakni PT. Imasco Asiafic yang memproduksi semen dengan merk semen Singa Merah. Dan lahan tambang yang menopang kebutuhan bahan baku perusahaan semen yang dikenal asal Tiongkok itu lahannya tidak termasuk dalam daftar 10 perusahaan yang HPL nya dicabut.
Kebijakan Pemerintah Kabupaten Jember dalam menutup lahan tambang dengan alasan untuk penataan lahan tersebut justru membuat pengusaha lokal menjadi terbelenggu.
“Ibaratnya kami bisa mati di lumbung sendiri,” kata sumber media ini yang namanya minta untuk tidak dipubliskan itu. (Sul)