JAKARTA, Exposeupdate.com – Sabtu, (04/02/2023). Seandainya, saya mengenal organisasi HMI sejak lama, mungkin waktu berseragam putih abu-abu saya sudah ikut dalam organisasi kesiswaan. Dengan ikut organisasi saat Sekolah, dengan sangat mudah saya akan beradaptasi di orgaisasi kemahasiswaan ketika kuliah.
Sayang seribu sayang, saya menghabiskan banyak waktu saat sekolah dengan nongkrong untuk hal-hal yang lain. Ada istilah, ilmu yang didapat di organisasi lebih baik ketimbang di bangku kelas. Bahkan ada yang memprosentasikan 90 persen pengetahuan masa depan ada di organisasi, sementara 10 persennya hanya berupa selembar ijazah dari tempat kita mengenyam pendidikan.
Ketika merenungkan kata-kata di atas, sesungguhnya bahasa itu sangat benar sekali. Di HMI saya bergaul dengan kawan-kawan yang suka membaca buku, berdiskusi & membangun pergerakan dengan basis teori kritis. Ini sangat berbeda ketika semester 1-3 di kampus sebelum mengenal HMI, saya bergaul dengan kawan-kawan yang mengajak party, nongkrong di cafe & happy-happy yang menawarkan hedonisme.
Saat Lapar & Frustasi
Kuliah terasa tidak menyenangkan, membuat frustasi & ingin berhenti secepat mungkin.Di dalam kelas sering di bully lantaran dialek bahasa yang saya miliki dianggap asing, nilai kuliah semester selalu saja Nasakom (Nilai Satu Koma) ditambah setiap hari ke kampus, yang ada hanya menahan lapar.
Sering dimarahi dengan bahasa-bahasa yang buruk. Sudah diberi beasiswa tapi nilai sangat buruk. Saya kuliah di Jakarta berkat rasa iba orang alias beasiswa miskin, berasal dari daerah tertinggal & bukan beasiswa berprestasi. Setiap perpanjangan beasiswa, kata-kata itu yang selalu di ulang-ulang.
Di suatu waktu, saya merenung di depan kos. Pandangan saya tentang berhenti kuliah seolah telah bulat. Saya cukup membuat tato di badan saya, pake anting-anting di telinga, lalu memilih menjadi preman dengan beberapa kawan-kawan, yang sudah saya kenal di sebuah tempat mangkal di Senayan.
Pikiran kacau itu muncul saat lapar yang begitu berat. Sabang hari, saya harus kuat tahan lapar untuk bisa kuliah di Negeri orang. Tak disangka, seorang dosen baik mengagetkan saya untuk mengikutinya dengan berboncengan di motornya. Tak berpikir kemana, dan nanya macam-macam, saya pun mengikutinya. Yang saya tahu, ia akan mengajak saya makan di warung.
HMI Malaikat Penolong
Waktu masih sekitar jam 11:00 siang, saat saya tiba Aula Insan Cita, Ciputat. Di sebuah bangku paling pojok saya ikut duduk tapi tidak tahu, apa yang harus saya lakukan di gedung itu? Dosen yang membonceng saya tadi dipersilahkan duduk di depan sambil ditemani beberapa mahasiswa seumuran saya.
Ia pun berbicara beberapa jam, lalu ia pamit pulang tanpa mengajak saya pulang. Selama 2 hari, saya selalu ke gedung itu untuk mendengar ceramah orang-orang cerdas, yang mulai menggugah rasa ingin tahu saya tentang kegiatan tersebut. Belakangan saya baru tahu, saya ternyata sedang dibawa oleh dosen saya mengikuti training HMI.
Di kegiatan beberapa hari itu, saya merasa mendapat motivasi & inspirasi baru sebagai seorang mahasiswa daerah. Sebuah inspirasi untuk cerdas, memiliki rasa percaya diri yang tinggi serta menjadi aktifis yang matang, saya dapatkan dari forum itu.
Setahun ber HMI tanpa serifikat basic training, saya ditunjuk sebagi Ketua bidang PTKP komisariat, mulai rutin memimpin demo reformasi & ikut terlibat dalam diskusi-diskusi ilmiah di forum-forum mahasiswa hingga tingkat Nasional.
Bahkan saya begitu bangga sekali ketika beberapa tulisan saya mulai dimuat di media Nasional serta jurnal ilmiah sebelum saya lulus kuliah.
Kuliah di UI & Masuk PB HMI
Tahun 2003 saya kuliah di filsafat Uiniversitas Indonesia (UI) setelah perjuangan yang melelahkan. Ditolak berbagai perusahaan, ketika melamar kerja setelah lulus kuliah tahun 2001, dipecat kerja setelah 6 bulan bekerja di Sukabumi serta di deportasi tentara PBB saat mencoba masuk Negara Timor Leste pasca Kemerdekaan Negara itu tahun 2002.
Untuk bisa kuliah di UI, saya harus mendaftar dengan uang susu anak hasil jual koran keliling 250 ribu. Setelah lulus, saya harus pontang panting untuk membayar uang SPP awal. Saya sudah bertemu AA. Baramuli, Marie Muhammad & sejumlah tokoh, agar mereka membantu saya tetapi nihil.
Di ujung rasa putus asa, saya bertemu Pak Prof. Dr. Yusril Ihza Mahendra, S.H., M.Sc., yang sedang jogging sore di lingkungan kampus Univ. Muhammadiyah Jakarta di Cireundeu, Ciputat. Saya yang saat itu sedang nongkrong di depan Masjid dengan pandangan kosong, langsung secepat kilat menghampirinya. Upaya saya itu berhasil & Profesor alumni HMI yang saya kagumi itu, yang juga seorang Menteri mau membantu kuliah S2 saya.
Jadilah saya mahasiswa UI, yang memberi rasa optimisme bila nasib buruk, tidak punya kerja & sebagai tukang parkir dan jual koran akan berakhir.
Benar sekali, beberapa bulan sebagai mahasiswa UI saya pun masuk jajaran para elit di organisasi PBHMI, yang beralamat di jalan Diponegoro 16 A plus. Setahun kemudian, tahun 2004, saya dipercaya Angelina Sondakh untuk membantunya di DPR-RI.
Memilih Sendiri Jalan Restorasi
Di UI saya bertemu dengan beberapa mahasiswa, yang mengajak saya menjadi tim sukses kongres HMI Jakarta. Bertemulah saya dengan wajah-wajah orang Timur di organisasi ini, yang akhirnya membawa saya masuk di ring, jaringan seorang kandidat yang kelak menjadi seorang Ketua umum terpilih.
Di organisasi elit HMI ini, saya menemukan dinamika yang membentuk cara berpikir saya sebagai aktifis. Tapi satu yang tidak bisa saya lupakan, kawan-kawan saya pernah menyebut saya masuk HMI sebagai penyusup & kader yang tidak jelas. Mereka membully saya & mendelete saya dari grup Whats App.
Saya kerap berbeda dalam ide & pemikiran, sehingga saya memilih berkarir sendiri, selepas keluar dari PB HMI tahun 2005. Tahun 2013 saya menjadi Jubir Gubernur Papua, dan 2 tahun kemudian saya ke AS setelah dipecat. Di gedung PBB, New York, saya mendaftarkan organisasi Buton Action Network sebagai organisasi perjuangan restorasi, dan saya adalah Presidennya.
Ketika pulang Indonesia, banyak kawan-kawan saya yang telah menjadi orang penting di NKRI. Saya ingin bersilaturahmi saja, menjaga hubungan baik & persaudaraan sesama kader & senior HMI. Saya memilih jalan sendiri, sementara kawan-kawan saya memilih jalan meneguhkan Kebangsaan & Keislaman dalam spirit Keindonesiaan.
Jalan saya sepi, penuh liku-liku tapi disitulah saya menjaga idealisme, independensi & intelektualitas saya sebagai kader HMI yang ingin merestorasi kebangsaan Indonesia; yang korup, hegemonik, tidak adil & menyengsarakan rakyat secara konsisten hingga saya berpulang sebagai ciptaan Allah SWT.
Akhirnya, selamat milad HMI yang ke 76, tanpamu saya bukan apa2-apa sebagai anak daerah, kampung & pejuang restorasi. Tetaplah melahirkan kader-kader terbaik bangsa, kritis & konsisten mengkader para pembaharu untuk sebuah peradaban yang unggul.
Lamadi de Lamato.
Aktifis PB HMI 2003-2005. (E01)