THE WRONG PERSON ON THE RIGHT PLACE

Sabtu, 24 Juni 2023
foto: Drs. Huzaifa Dadang AG, M.Si

JAKARTA, Exposeupdate.com Sabtu, (24/06/2023). Ungkapan yang menjadi judul tulisan ini sangat lazim kita dengar “The Right Man on The Right Place”.

Ungkapan tersebut memiliki makna bahwa seseorang yang tepat dari sisi kualifikasi, kemampuan, bakat atau kualitas personal lainnya ditempatkan atau diberikan tanggung jawab di posisi atau peran yang bersesuaian dengan kapasitasnya.

Ungkapan ini menekankan pentingnya penempatan yang tepat dalam organisasi atau tugas tertentu untuk dapat membawa manfaat dan kemaslahatan yang lebih baik bagi organisasi.

Namun ungkapan tersebut tampaknya perlu sedikit dimodifikasi menjadi “The Wrong Man On The Right Place” jika dikaitkan dengan kemelut yang terjadi dalam keluarga besar PGRI saat ini. Kita coba menyoroti satu contoh di antaranya adalah penempatan Sdr. WW selaku Ketua Departemen Kominfo PB PGRI.

Tanpa bermaksud merendahkan yang bersangkutan, namun dari Pers Rilis PB PGRI yang dibuatnya untuk menanggapi mosi tidak percaya pengurus PGRI Provinsi yang telah dipublikasikannya beberapa hari yang lalu, patut diberikan catatan kaki sekaligus mengukuhkan Sdr. WW selaku The Wrong Man dengan pertimbangan sebagai berikut:

1. Saudara WW menyatakan bahwa istilah mosi tidak dikenal dalam organisasi PGRI (naskah pers rilis PB PGRI poin 2). Sebagai seorang pendidik, semestinya Sdr. WW sedikit cerdas sehingga dapat membedakan antara simbol dan makna. Bahwa mosi tidak percaya itu adalah sebentuk simbol verbal untuk merepresentasikan konsep, ide, atau emosi dan fakta-fakta sosial yang disampaikan untuk mengekspresikan ketidakpercayaan atau ketidakpuasan terhadap kepemimpinan seseorang atau terhadap suatu keputusan. Sebagai simbol verbal tentu saja tidak perlu diatur dalam peraturan organisasi. Hal ini sama persis ketika Ketum PB PGRI Sdr. Unifah dalam ungkapan emosionalnya menyatakan “lu jual gua beli”. Itu adalah simbol verbal yang
meskipun tidak tertulis di peraturan organisasi namun Sdr. Unifah sering kali menggunakannya sebagai ungkapan kemarahan atau sebagai ekspresi tantangan kepada pihak yang dianggapnya tidak sejalan dengan keinginan dan seleranya dalam menjalankan roda organisasi. Meskipun ungkapan “lu jual gua beli” itu sendiri sebagai simbol verbal yang sesungguhnya sangat naif dan sangat tidak pantas diucapkan (dalam konteks komunikasi publik) oleh seorang yang “amat terdidik” yang sekaligus sebagai petinggi organisasi.

2. Sdr. WW dalam pernyataannya di pers rilis tersebut yang kami kutip lengkap sebagai beikut “Begitupun kepatuhan kepada pimpinan tertinggi (Ketua Umum) sebagai representasi organisasi dengan berpedoman kepada AD ART dan mengedepankan musyawarah untuk mufakat adalah bagian dari etika yang selalu dipegang teguh”, menunjukkan kesalahpahaman yang amat mendasar. Kesalahan pertama, yaitu kepatuhan yang dipersepsikan yang sebagai kepatuhan terhadap Ketua Umum mencerminkan pemikiran yang sangat naif dan sekaligus menjawab pertanyaan
mengapa selama ini Sdr. WW terkesan menjadi pemuja yang berlebihan kepada
Ketumnya. Sdr. WW perlu membagi proporsi waktunya yang digunakan untuk memuja majikan dan waktu yang cukup untuk belajar banyak hal agar tidak menunjukkan kebodohan yang terkesan mengolok-olok diri sendiri. Yang benar, kepatuhan atau compliance itu merujuk pada sikap patuh pada sistem, peraturan, dan kebijakan yang ditetapkan bukan patuh terhadap individu hatta itu adalah pimpinan tertinggi organisasi. Karena pimpinan organisasi adalah person atau individu yang bahkan melekat pada dirinya potensi untuk tidak patuh terhadap sistem, peraturan bahkan konstitusi tertinggi organisasi yaitu AD/ART.

3. Kesalahan kedua, yang masih terpaut dengan point 2 di atas, sdr. WW menganggap Ketua Umum sebagai representasi organisasi. Ini menunjukkan ketidakpahaman Sdr.
WW dalam beroganisasi. Sdr. WW pasti tidak paham bahwa PGRI ini menganut sistem kepemimpinan kolektif kolegial sehingga organisasi dengan sendirinya direpresentasikan secara kolektif kolegial, bukan oleh individu. Disayangkan sekali bahwa Sdr. WW yang secara nyata menunjukkan kerendahan kapasitas organisatoris justru diberikan jabatan dan kewenangan untuk menjadi corong organisasi. Ini sungguh absurd bahkan menggelikan.

Maka sebagai penutup, kami ingin berpesan kepada Sdr. WW dalam posisinya selain sebagai anggota PB juga sebagai pendidik, jadilah “homo educandus” yaitu menjadi individu yang terus berproses menjadi lebih baik melalui proses pembelajaran dan pengalaman. Jangan hanya menjadi pemuja pragmatis yang kehilangan akal sehat.

Jakarta, 22 Juni 2023
Ketua PB PGRI yang membidangi Organisasi dan Kaderisasi,

 

Drs. Huzaifa Dadang AG, M.Si

(E01)

Baca Juga

Berita Terkait

ExposUpdate